Selasa, 16 Juni 2015

Makalah SAN Suku Mbojo



KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam,  karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Sosial dan Budaya Makan Keluarga Suku Mbojo, di Kota Mataram” dengan sebaik mungkin.
Di dalam makalah ini, akan dipaparkan mulai dari persepsi keluarga terhadap sehat dan sakit sampai kebudayaan dari suku mbojo.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita dan pembaca dapat belajar dengan baik.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan   saran  dari semua pihak  yang  bersifat membangun selalu diharapkan demi   kesempurnaan laporan ini.
Akhir  kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak  yang  telah berperan serta dalam penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir. Semoga  Allah  SWT  senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.



Mataram,      April  2015



Penyusun







DAFTAR ISI
                                                                                                                                         
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ..... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................... 1
1.1       LATAR BELAKANG...................................................................................................... 1
1.2       RUMUSAN MASALAH................................................................................................. 1
1.3.. TUJUAN........................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN  .......................................................................................................... 3
      2.1   Profil Responden............................................................................................................... 3
      2.2Sejarah Suku Mbojo.............................................................................................................. 3
      2.3Makna Bahasa Mbojo........................................................................................................... 4
      2.4Upacara, Adat, Tradisi dan Makanan Khas Mbojo.............................................................. 8
      2.5 Pengertian Sehat dan Sakit................................................................................................ 20
      2.6 Kebiasaan dan Pola Makan................................................................................................ 20
      2.7 Tabu, Pantangan Makan dan Tahyul Suku Mbojo............................................................. 21

BAB III PENUTUP..................................................................................................................... 23
KESIMPULAN........................................................................................................................... 23
SARAN ........................................................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................             26

BAB I
PENDAHULUAN
1.1         LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan Negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi. Kemultikulturan tersebut terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang ada di Indonesia.Dalam buku “Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia” karya antropolog Zulyani Hidayah, tercantum sebanyak 656 suku bangsa di Indonesia. Untuk merinci unsur-unsur bagian dari suatu kebudayaan suku bangsa yang disusun berdasarkan suatu kerangka etnografi yang terdiri dari nama suku bangsa, lokasi, lingkungan alam dan demografi, asal mula dan sejarah, bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi social, sistem pengetahuan, kesenian, agama dan sistem religi serta pola makan dari suku Mbojo ini.
Dikarenakan banyaknya suku bangsa yang terdapat di Indonesia, maka kemajemukan suku bangsa tersebut jarang dimengerti oleh generasi muda saat ini, selain itu perkembangan zaman akibat pengaruh globalisasi juga mempengaruhi pola kehidupan dan interaksi suku bangsa tersebut. Suku Mbojo merupakan salah satu suku di Indonesia yang telah mengalami modernisasi dalam hal pola kehidupan, budaya maupun interaksi. Untuk itu kami akan membahas pola kehidupan, budaya serta pola makan dari Suku Mbojo.

1.2         RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimana sejarah suku mbojo?
b.      Apa makna bahasa di dalam Masyarakat Suku Mbojo?
c.       Bagaimana Upacara, Adat, Tradisi Dan Makanan Khas Mbojo?
d.      Bagaimanakah pola makan suku Mbojo?
e.       Apa saja kepercayaan dan tahayul serta pantangan tmakan bagi masyarakat suku Mbojo?
1.3         TUJUAN
a.       Untuk mengetahui kebudayaan masyarakat suku Mbojo
b.      Untuk mengetahui makna bahasa di dalam masyarakat suku Mbojo
c.       Untuk mengetahui Upacara, Adat, Tradisi Dan Makanan Khas Mbojo
d.      Untuk mengetahui pola makan suku Mbojo
e.       Untuk mengetahui kepercayaan dan tahayul pantangan makan bagi masyarakat suku Mbojo
































BAB II
PEMBAHASAN

2.1         PROFIL RESPONDEN
a.       Keluarga Pak Qisma
Alamat                                       : jalan danau sidendeng no. 12, btn pagutan permai
Anggota Keluarga                     :
·         Kepala Keluarga            :  Qisman
·         Ibu                                 : Arum
·         Anak I                            : Arman aryadi zulkarnaen
·         Anak II                          :  Ismadi Ddwi putra
·         Anak III                         : kurnia dinda yuniasari
Keluarga Pak Qisman sudah menetap di Lombok selama 21 tahun. Keluarga pak Qisman berasal dari Desa Bonto Kape-Bima, beliau tinggal di lombok karena di tugaskan di Lombok kare pekerjaan sebagai anggota PORLI.
b.      Keluarga Pak Adi
Alamat                                       : Jalan Saleh Sungkar Gg. Sawah, Ampenan Kebon Roek
Anggota Keluarga                     :
·         Kepala Keluarga            : Adi Saputra
·         Ibu                                 : Astuti
·         Anak I                            : Rifki
·         Anak II                          : Rafli
Keluarga pak Adi sudah menetap di Lombok selama 13 tahun. Keluarga pak Adi berasal dari Bima, beliau tinggal di lombok karena merantau mencari pekerjaan dan sekarng beliau membuka took pakaian.
2.2         SEJARAH SUKU MBOJO
Berbagai versi menyebutkan asal mula kata Bima menjadi suku tersebut. Ada yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”.Hal ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.
Legenda tersebut tertulis dalam Kibat Bo’. Ceritanya berawal dari kedatangan seorang pengembara dari Jawa yang bernama Bima tadi.Bima merupakan seorang Pandawa Lima yang melarikan diri ke Bima pada masa pemberontakan di Majapahit.Dia melarikan diri melalui jalur selatan agar tidak diketahui oleh para pemberontak, lalu berlabuh di Pulau Satonda.
Bima menikah dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, dan memiliki anak. Bima memiliki karakter yang kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Lalu, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima.Sang Bima dianggap sebagai raja Bima pertamanya.
Hanya saja, Sang Bima meminta kepada para Ncuhi supaya anaknya yang diangkat sebagai raja. Sementara dia sendiri kembali lagi ke Jawa dan menyuruh dua anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima.Oleh karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.
Nama Bima sendiri sebenarnya adalah sebutan dalam bahasa Indonesia, sementara orang Bima sendiri menyebutnya Mbojo. Saat menggunakan bahasa Indonesia untuk merujuk “Bima”, yang digunakan tetap harus mengucapkan kata “Bima”. Tetapi bila menggunakan bahasa daerah Bima untuk merujuk ”Bima”, kata yang digunakan secara tepat adalah “Mbojo”. Mbojo ini merupakan salah satu suku Bima karena dalam suku Bima sendiri ada dua suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo.Suku Donggo atau orang Donggo dianggap sebagai orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.

2.3         MAKNA BAHASA MBOJO
Suku Mbojo memiliki beragam bahasa dan dialek yang berasal dari berbagai wilayah di suku Mbojo. Dari setiap bahasa yang digunakan memiliki arti dan makna sendiri. Adapun bahasa Mbojo yang di maksud adalah sebagai berikut :
a.     Kalembo ade
Kalembo Ade" adalah kata subyek yang selalu diucapkan dalam dioalog dou Mbojo (bima) yang makna dari kata kalembo ade itu sendiri akan berubah-ubah sesuai dengan kata obyek yang dituju. Seperti dalam Bahasa Indonesia, ungkapan sering terbentuk dari berbagai unsur. ungkapan kalembo ade ini selalu mewarnai kegiatan/alur berkomunikasi dalam keseharian warga Mbojo (bima). Frekuensi penggunaannya pun , boleh dikatakan, tiada hari tanpa ada ungkapan kalembo ade , bahkan tiada jam tanpa ada kalembo ade.
Secara sederhana, dapat dikatakan maknanya adalah bersabar. Itu dipahami karena ungkapan itu terbentuk dari kata kalembo (sabar)  ade (hati). Jadi kalembo ade artinya bersabar yang berarti keikhlasan hati nurani.
Setelah diadakan penelitian sederhana, tafsiran kita terhadap ungkapan kalembo ade, memang beragam maknanya. Untuk tidak sekedar diperbincangkan, berikut ini, disajikan sebagai berikut:
1.      Kalembo ade bermakna: tidak mudah putus-asa. Ketika kita mengalami kesulitan, seperti kekurangan uang untuk membayar SPP, orang yang paling dekat dengan kita selalu menggunakan ungkapan,”Kalembo ade, kata orang bijak, sabar akan menjadi subur”. Atau salah satu krabat kita tertimpa musibah meninggal dunia, maka semua yang melayat tidak akan terlewatkan kata kalembo ade baru ditambahkan kata-kata lain yang menyetuh misalnya : "Kalembo ade ari e, aina ipi nangi, ndai ta manusia ke di mamade menampa”  yang artinya "jangan terlalu sedih (menangis) dik, karena kita sebagai manusia, semuanya bakal meninggal”
2.      Kalembo ade bermakna: tidak tergesa-gesa. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak di antara kita dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan maunya cepat  selesai, orang akan menganggap pekerjaan yang dikerjakan dengan terburu-buru hasilnya tidak akan maksimal maka orang itu pasti akan menegur atau mengingat kita dengan kata : Kalembo ade, ai na ipi hura-hara krawi re, kanari-nari mpa diloa taho kai ndadina (jangan terlalu terburu buru, pelan - pelan saja, biar hasilnya maksimal)
3.      Kalembo ade bermakna : teliti dan tekun, dalam hal belajar misalnya, kita disarankan agar selalu memperhatikan dan memahami sepenuhnya tentang apa yang kita pelajari, Belajar dan belajar, tetap semangat untuk belajar, biasanya orang terdekat kita akan mengingatkan seperti ini ”Kalembo ade, tanao kapoda ademu, diloa kai raka aura ne'e mu" (belajar yang sungguh-sungguh agar cita-citamu tercapai).
4.      Kalembo ade bermakna jengkel atau marah.Ketika kita menagih utang kepada teman, kemudian teman kita selalu menunda-nunda pembayarannya, maka terkadang kesabaran kita habis sudah maka tanpa disadari emosional kita meledak dalam seketika. Kalembo ade ya, sambil menunjuk –tunjuk jemari kita di depan mata seseorang ; ”Kalembo ade , cina e, ndaim ma ka susah podaku ake, nahu ke, ngge'e nggongga senai-naiku di ake pala watipu cola conggo, bone aiku colamu" (banyak maaf teman, tiap hari saya bolak balik kesini tapi belum bayar juga utangmu, kapan kamu mau bayar).
5.      Kalembo ade bermakna: merendahkan diri. Pada waktu kita memberikan hadiah yang mahal harganya, tapi justeru kita mengatakan kalemboade hanya itu yang bisa kita berikan. Jauh dari lubuk hati si penerima mengatakan wah…, sudah dikasih hadiah yang mahal harganya malah dikatakan kalembo ade, biasanya sambil menyerahkan hadiah tersebut diiringi ucapan ”Kalembo ade, ake mpa mara wara, diloa kai samada angi ndai!” (mohon maaf, hanya ini yang dapat aku berikan sebagai kenang-kenangan antara kita)
6.      Kalembo ade bermakna: mohon maaf. Dalamkeseharian, kita terkadang terlambat datang pada suatu pertemuan. Oleh karenaitu, kita selalu meminta maaf atas keterlambatan kita. biasanya diungkapkan demikian,” Kalembo ade, mada wara sengiri ke“ (banyak maaf saya agak terlambat).
7.      Kalembo ade bermakna: tegur-sapa. Menegur atau menyapa adalah pola komunikasi yang sangat bermanfaat bagi sesama, begitupun di Bima, digunakan dalam kehidupan sehari-hari, Misalnya, “Kalembo ade, ampo ja eda angi,  tabe ku ra lao kai re (mohon maaf, kita kayaknya baru bertemu deh, kemana saja selama ini).
b.      Nggahi Rawi Pahu
Nggahi rahi pahu merupakan Falsafa daerah yang diciptakan oleh orang-orang Dompu dulu, yang sampai sekarang Kata Nggahi Rawi pahu dibumikan oleh Masyarakat dan pemerintah Kabupaten Dompu sebagai ciri khas Daerah yang memiliki makna yang sangat dalam bila kita mengkajinya.
Arti yang sebenarnya dari kata Nggahi Rawi pahu adalah pertama, (Nggahi). Nggahi yang artinya bilang/mengatakan sesuatu apa yang dipikirkan dan apa yang dilihat yang keluar dari mulut seseorang. Kedua, Rawi; kata Rawi yang artinya “perbuatan/sikap” seseorang yang hasil dari apa yang mereka katakana terus yang dapat diaplikasikan langsung melalui sikap atau perbuatan seseorang. Dan yang ketiga, Pahu; kata pahu yang maknanya “bentuk/wujud” atau bukti nyata dari apa yang dikatakan/bicarakan dan langsung dilakukan dengan sikap/perbuatan,sehingga tidak sia-sia apa yang mereka katakana dihadapan orang lain.
c.       Maja Labo Dahu
Mbojo memiliki semboyan yang dikenal dengan sebutan “Maja Labo Dahu”. Setiap aturan yang berdasarkan budaya ataupun hasil karya manusia adalah tidak akan pernah lepas dari aturan tuhan, mulai dari undang-undang Negara sampai pada tataran kebudayaan seperti yang dimilki oleh Bima itu sendiri. Kata Maja berarti Malu, Labo berarti dan serta Dahu berarti Takut. Jika kita meninjau kata di atas secara semantik atau maknawi, Maja (malu) bermaknakan bahwa orang ataupun masyarakat Bima akan malu ketika melakukan sesuatu diluar daripada koridor tuhan, apakah itu kejahatan, perbuatan dosa dan lain sebagainya baik yang berhubungan dengan manusia ataupun terhadap tuhannya. Dahu (takut), hampir memilki proses interpretasi yang sama dengan kata Malu tersebut. Sama-sama takut ketika melakukan sesuatu kejahatan ataupun keburukan. Sebagai tambahan bahwa, orang Bima akan malu dan takut pulang ke kampung halaman mereka ketika mereka belum berhasil di tanah rantauan.
d.      Santabe
Kata Santabe yang artinya “permisi”. Setiap orang yang mau lewat dihadapan orang-orang duduk dan ngumpul maka kata Santabelah yang harus kita sapa sebabagai bentuk tradisi budaya yang saling menghargai orang lain.

2.4         UPACARA, ADAT, TRADISI, dan MAKANAN KHAS SUKU MBOJO
Secara umum kebudayaan keluarga suku Mbojo yang tinggal di mataram tetap dipertahankan seperti Wa,a co’i, kapanca, nuzu bulan, akikah, khitan, compo sampari, compo baju, sunatan, do’a rasu, silaturrahmi dan mbolo weki.
Makanan yang dihidangkan dalam acara sunatan dan resepsi pernikahan dikombinasi antara makan khas lombok dan khas bima seperti gule daging, sate, acar, palumara (singang), urap, dan saronco hi’i. Sedangkan budaya seperti doa rasu, silaturahmi dan nuzul bulan tetap mempertahankan makanan khas bima.
a.     Upacara Adat dan Tradisi
Suku Mbojo berbagai macam upacara adat dan tradisi yang dilakukan pada saat hari – hari tertentu, antara lain :
1.      Waa coi
Wa’a coi maksudnya adalah upacara menghantar mahar atau mas kawin, dari keluarga pria kepada keluarga sang gadis. Dengan adanya uacara ini, berarti beberapa hari lagi kedua remaja tadi akan segera dinikahkan. Banyaknya barang dan besarnya nilai mahar, tergantung hasil mufakat antara kedua orang tua remaja tersebut. Pada umumnya mahar berupa rumah, perabotan rumah tangga, perlengkapan tidur dan sebagainya. Tapi semuanya itu harus dijelaskan berapa nilai nominalnya.
Upacara mengantar mahar ini biasanya dihadiri dan disaksikan oleh seluruh anggota masyarakat di sekitarnya. Digelar pula arak-arakan yang meriah dari rumah orang tua sang pria menuju rumah orang tua perempuan. Semua perlengkapan mahar dan kebutuhan lain untuk upacara pernikahan seperti beras, kayu api, hewan ternak, jajan dan sebagainya ikut dibawa.
2.      Kapanca
Upacara  Peta Kapanca adalah salah satu bagian dari prosesi perkawinan Adat Bima. Biasanya upacara ini dilaksanakan sehari sebelum dilaksanakan Akad Nikah dan Resepsi perkawinan. Peta Kapanca adalah melumatkan Daun pacar(Inai) pada kuku calon pengantin wanita yang dilakukan secara bergantian oleh ibu-ibu dan tamu undangan yang semuanya adalah kaum wanita.
Makna dari upacara Kapanca ini merupakan peringatan bagi calon pengantin wanita bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi akan melakukan tugas dan fungsi sebagai ibu rumah tangga atau istri. Disamping itu, Kapanca dimaksudkan untuk memberi contoh kepada para gadis lainnya agar mengikuti jejak calon penganten wanita yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ratu yang akan mengakhiri masa lajangnya sehingga mereka dapat mengambil hikmah.
3.      Nuzul Bulan
Nuzul Bulan adalah suatu acara yang dilaksanakan pada usia kehamilan 7 bulan yang bertujuan untuk keselamatan dengan harapan bayi yang dikandung lahir sehat. Prosesi acara ini melibatkan sesepuh yang telah lama tinggal di mataram. Makanan yang dihidangkan dalam acara ini adalah pisang ambon, oha mina serta karaba, pangaha bunga, bolu dan mangonco (rujak). Rujak yang dibuat oleh pihak acara diberikan kepada para undangan. Menurut kepercayaan masyarakat suku Mbojo, jika rujak yang diberikan rasanya pedas maka anak yang dikandung adalah anak laki-laki. Sedangka jika rujak yang diberikan rasanya manis maka anak yang dikandung adalah anak perempuan.
4.      Khitan
Upacara khitanan dalam adat Mbojo disebut upacara suna ro ndoso (Suna = sunat. Ndoso = memotong atau meratakan gigi secara simbolis sebelum sunat). Biasanya upacara suna ro ndoso dilakukan ketika anak berumur lima sampai tujuh tahun. Bagi anak perempuan antara dua sampai dengan empat tahun. Upacara khitan bagi anak laki-laki disebut suna. Sedangkan bagi puteri disebut”sa ra so”. Sebelum di khitan terlebih dahulu akan di lakukan compo sampari dan compo baju pada anak laki – laki dan perempuan. Dalam acara khitan serta compo sampari dan compo baju terdapat makanan yang sering disajikan seperti : uta janga puru (ayam bakar), sia dungga, uta mbeca ro,o parongge,oha mina, kalo.
5.      Compo sampari
Upacara compo Sampari atau pemasangan keris( memakaikan keris) kepada anak laki – laki yang akan di Suna Ro Ndoso. Dilakukan oleh seorang tokoh adat, diawali dengan pembacaan do’a disusul dengan membaca shalawat Nabi. Upacara ini digelar sebagai peringatan bahwa  sebagai anak laki – laki harus memiliki kekuatan dan keberanian yang dilambangkan dengan sampari (keris).
6.      Compo baju
Upacara compo baju yaitu upacara pemasangan baju kepada anak perempuan yang akan di saraso ro ndoso. Baju yang akan dipasang sebanyak 7 lembar baju poro(Baju pendek) yang dilakukan secara bergilir oleh para tokoh adat dari kaum ibu. Makna compo baju adalah merupakan peringatan bagi anak, kalau sudah di saraso berarti sudah dewasa. Sebab itu harus menutup aurat dengan rapi. Tujuh lembar baju  adalah tujuh simbol tahapan kehidupan yang dijalani manusia yaitu masa dalam kandungan, masa bayi, masa kanak – kanak, masa dewasa, masa tua, alam kubur dan alam baqa(akherat).
7.      Doa rasu
Doa rasu adalah suatu kebiasaan berdoa pada hari jum’at yang dilaksanakan pada pagi hari, dimana maksud acara ini sebagai ungkapan rasa syukur dan sebagai tola bala agar keluarga tersebut terhindar dari bencana dan mala petaka. Biasanya anak-anak dikumpulkan setelah sholat subuh atau sebelum matahari terbit dan diberikan makan berupa karedo (bubur) yang diletakan di atas nare yang dialasi daun pisang. Tempat makan diadakan doa rasu tergantung pada tujuan yang membuat acara seperti di depan pintu bertujuan untuk memurahkan rejeki.
8.      Silaturahmi
Silaturrahmi adalah suatu kebiasaan suku Mbojo mengunjungi keluarga atau kerabat untuk mempererat tali persaudaraan. Bagi masyarakat suku Mbojo mengadakan silaturahmi berupa acara arisan, dimana masyarakat suku Mbojo menyempatkan diri berkumpul ditengah kesibukan mereka masing-masing dan dengan arisan itu mereka saling mengenal sehingga ikatan persaudaraan mereka lebih erat. Pada acara ini makanan yang dihidangkan adalah makanan khas bima yang dibuat oleh tuan rumah.
9.      Mbolo weki
Mbolo weki adalah upacara musyawarah dan mufakat seluruh keluarga maupun handai taulan dalam masyarakat untuk merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hajatan/rencana perkawinan yang akan dilaksanakan. Dalam tradisi khitanan juga demikian. Hal-hal yang dimufakatkan dalam acara mbolo weki meliputi penentuan hari baik, bulan baik untuk melaksanakan hajatan tersebut serta pembagian tugas kepada keluarga dan handai taulan. Bila ada hajatan pernikahan, masyarakat dengan sendirinya bergotong royong membantu keluarga melaksanakan hajatan. Bantuan berupa uang, hewan ternak, padi/beras dan lainnya. Dalam acara mbolo weki ini biasanya di sajikan beberapa macam jajanan seperti bolu, dadar, pisang, binka dolu.

b.     Makanan Khas Suku Mbojo
Suku Mbojo memiliki masakan dan jajanan yang khas yaitu :
1.      Mina sarua
http://gelarculturaltrip.com/en/photo-gallery/image.raw?view=image&type=orig&id=335 
Minasarua merupakan makanan khas orang Sila, karena orang Sila turun temurun tiap generasi diajarkan cara membuat Minasarua, terbuat dari bahan rempah-rempah yang bermanfaat sebagai obat atau biasa disebut minuman penghangat tubuh atau untuk daya tahan tubuh dari penyakit. Di Bima hanya di Sila yang banyak terdapat rumah-rumah pembuat Minasarua yang hingga kini masih ada dan banyak.
Proses pembuatan Mina Sarua berlangsung selama dua hari. Campuran beras ketan dan ragi akan di diamkan selama satu malam. Paginya rempah-rempah antara lain Jahe, Merica dan Lada, di goreng. Lalu beras ketan yang telah menjadi tape ketan itu di campur dengan rempah yang telah di goreng. Kemudian di masak bersama santan kelapa dan siap di sajikan.
Namun Mina sarua ini rasanya tidak nikmat tanpa pelengkap yaitu TaI Mina. TaI Mina ini dibuat terpisah dan berbahan dasar kelapa parut. Kelapa tersebut diolah dengan minyak dan campuran sedikit bumbu. Cara penyajiannya, TaI Mina dicampur atau di tabur dalam Mina Sarua.
Mina Sarua berasal dari kata Minyak Saruang, berupa minyak oles yang berfungsi sebagai obat keseleo, sakit perut, masuk angin dan beberapa manfaat lainnya, yang pertama kalinya di racik oleh orang Sumbawa.
Setelah beberapa orang Sumbawa itu merantau ke Bima, tepatnya di Wilayah Sila, merekapun membawa minyak Saruang untuk di perkenalkan pada warga setempat. Oleh orang-orang Bima, kemudian meracik obat tersebut menjadi minuman penghangat tubuh.
Akhirnya bahan dasar rempah minyak Saruang di padu dengan tape ketan. Karena dialeg Bima yang pada umumnya tidak kesampean, maka secara gamblang saja Minyak Saruang berubah nama menjadi Mina Sarua.
2.      https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRHS5Hc_y0FqOHs3ZLQ1s_Qeb8I_RSC02TyUZDGUA5wk47X-H-tXf653lGfko0yxk9cn5WYF5fZGqbiyX7pHU8qk233mFmL_1v7dy8BRSULAFyPFIW1tZDEtIn8zZFaoBoX4Yz8LK2C78/s400/bingka+dolu.jpgBingka dolu
Bingka Dolu adalah sejenis kue khas Bima Dompu yang berbahan dasar tepung terigu, telur, gula dan beberapa adonan lainnya. Bahan yang dibutuhkan 500gr tepung terigu, 500gr telur, 400gr gula pasir, 5 gelas santan dari 2 kelapa ukuran sedang, 1 gelas air pandan suji (untuk pewarna hijau), ½ sendok teh garam danMinyak untuk mengoles cetakan.
3.      Pangaha bunga
Pangaha bunga atau Jajan Bunga dan Jajan Cincin (Pangaha bunga dan pangaha sinci : Bahasa Bima) merupakan diantara sekian jenis makanan khas daerah Bima yang secara turun temurun di lestariakan hingga saat ini. Bahan-bahan kedua jenis jajan ini sangatlah sederhana. Semua orang pasti bisa membuatnya jika mengetahui bahan da cara pembuatannya. Tetapi belum tentu rasa yang di hasilkan se-nikmat rasa yang tercipta dari tangan para pembuat (pengrajin) asli. Tangan-tangan mereka telah terbiasa dan memiliki teknik-teknik yang mungkin tak di ketahui oleh orang lain.
4.      https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcR0jSBpwopXcd2H4o898Ii6KRpdfeiUEpLs7gXfV6dAwxAjteFDOi mange
oi mangge.jpgOi mangge merupakan makanan khas warga Bima-Dompu sebagai teman nasi dan ikan teri (uta paku).


5.      Tumis sepi
tumis sepi.jpgSepi adalah makanan khas bima yang terbuat dari udan rebon (anak udang yang sering disebut dengan sepi bou). Udang rebon di fermentasi dengan garam saja sehingga mengeluarkan aroma yang khas.

c.     KERAJINAN SERTA RUMAH ADAT SUKU KHAS BIMA
1.      Gelas songga
Gelas Songga, merupakan produk khas daerah Bima – Nusa Tenggara Barat yang digunakan untuk pengobatan berbagai macam penyakit.
Gelas Songga ( nama ilmiah: Eurycoma longifolia) terbuat dari kayu obat alami yang tumbuh di Pegunungan Bima, Dompu. Biasa juga disebut dengan Kayu " Bidara Laut" atau di daerah lain kadang disebut " pasak bumi" atau " tongkat ali".
Adapun manfaat dari kayu songga atau gelas songga antara lain:
a.       Menurunkan kadar gula darah bagi penderita diabetes
b.      Mengatasi asam urat, darah tinggi, darah koto
c.       Mengobati Malaria
d.      Mengobati kurang nafsu makan
e.       Mengobati radang lambung, kurang nafsu makan, cacar air, badan lemah dan badan panas atau dingin
f.       Serta berbagai penyakit dalam lainnya.
Songga/ Bidara Laut mengandung zat-zat :
Logarin, Silikat, Styrikhnos, Mangan, Lemak, Zat Samak, Tembaga, Protein, Alkoloida / Strich in Bruin
Cara Penggunaan :
-          Masukan air hangat ke dalam Gelas Kayu Songga
-          Biarkan sampai 1-5 Menit
-          Minum air larutan dalam Gelas sebagai pengobatan 1-2 kali sehari
-          Gelas bisa dipakai minum berulang-ulang sampai dengan rasa pahit yang dihasilkan sudah tidak terasa.
Perhatian :
-          Jangan diisi air panas atau air es, dapat menyebabkan gelas pecah
-          Khusus penderita darah rendah agar tidak terlalu banyak mengkonsumsi
2.      Tembe
Kota Bima merupakan suatu daerah kaya akan kekayakan budaya dan adat istiadat. Orang Bima mengenal tenunan sejak bedirinya Negara islam di Bima pada 15 rabiul awal 1050 hijriah. Awal pertama kali masyarakat Mbojo mengenal pembuatan tenunan biasa mereka menyebutnya dengan ”Tembe’ dimana tujuan utama pembuatan tembe tersebut sebagi pakaian yang menutup auratnya serta sebagai motivasi peradaban keagamaan mereka pada zaman dulu.
Dimana tembe ini dikenal bebrapa jenis yaitu tembe nggoli, tembe songket, tembe kafa na’e, tembe me’e, tenunan ini merupakan salah satu hasil kerajinan khas daerah Mbojo Bima yang dikenal di beberapa daerah.
Mengapa dikatakan tenunan tradisional karena alat-alatnya di buat secara tradisional seperti tampe, tandi, ku’u, poro’ cau, lihu, lira lili, dll. Pekerjaaan tenunan ini dilakukan oleh kaum perempuan remaja dan ibu-ibu.
tenunan.jpg                tembe1.jpg
Adapun proses pembuatan tenunan tersebut cukup rumit di mulai dari :
a.       Menggulung benang-benang pada seruas bambu dengan menggunakan alat sederhana.
b.      Benang yang digulung tadi kemudian dililitkan pada sebuah benda yang dirancang khusus seperti garpu, biasanya garpu yang satu terdiri dari tiga garpu, sedangkan yang lainnya empat garpu.Setelah lilitanya selesai baru ujung-ujung benang tadi diselipkan ke sisir (cau) serta alat-alat lain yang diperlukan.
c.       Benang-benang yang sudah dipasang tadi ditarik lurus sekencang-kencangnya untuk mengetahui apakah ada benang yang salah ataupun dimasukan kedalam sisir tadi.
d.      Benang itu digulung dengan rapi dan siap untuk di tenun.
Tidak semua orang Bima dapat bertenun sarung, hanya orang-orang yang memiliki kosentrasi dan ketelilitian yang tinggi kalau tidak maka bagian tepi sarungnya tidak rata. Tetapi apalah yang tidak bisa kita lakukan kalau kita memiliki keamauan untuk berlatih dan tekun belajar maka pastilah bisa.
Ragam motif tenunan Bima relatif sedikit bila dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Motif tenunan Bima hanya menampilkan satu dari sekitar sembilan ragam motif hiasan dalam satu lembar sarung atau pakaian. Misalnya kalau hiasan bunga sekuntum (Bunga Satako) tidak dapat disertakan dengan Bunga Aruna( Bunga Nenas).Berikut beberapa motif dan makna dari ragam hiasan dalam tenunan khas Bima.
1.      Bunga Samobo (bunga Sekuntum), sebagai mahluk sosial manusia selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus bermanfaat bagi orang lain, laksana sekuntum bunga yang memberikan aroma harum bagi lingkungannya.
2.      Bunga Satako (Bunga Setangkai), sebagai simbol kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi anggota keluarga dan masyarakat. Bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar keharuman bagi lingkungannya.
3.      Bunga Aruna (Bunga Nenas). Nenas yang terdiri dari 99 sisik(helai) merupakan simbol dari 99 sifat utama Allah yang wajib dipedomani dan diteladani oleh manusia dalam menjalankan kehidupan agar terwujud kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
4.      Bunga Kakando (Rebung) mengandung makna hidup yang penuh dinamika yang mesti jalani dengan penuh semangat.
Disamping mengenal motif bunga, tenunan Bima juga mengenal motif geometri seperti Gari(garis), Nggusu Tolu atau Pado Tolu( Segitiga), Nggusu Upa (Segi empat, Pado Waji (Jajaran Genjang), serta Nggusu Waru ( Segi Delapan ). Motif Gari(Garis) mengandung makna bahwa manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti lurusnya garis. Nggusu Tolu(Segitiga) berbentuk kerucut mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak kerucut yang lancip. Nggusu Upa atau segi empat merupakan simbol kebersamaan dengan tetangga dan kerabat. Motif Pado Waji hampir sama maknanya dengan Nggusu Tolu, tetapi selain mangakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian kiri kanannya. Sedangkan Nggusu Waru, idealnya seorang pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu :Beriman Dan Bertaqwa, Na Mboto Ilmu Ro Bae Ade ( Memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas), Loa Ra Tingi ( Cerdas Dan Terampil), Taho Nggahi Ra Eli (Bertutur kata yang halus dan sopan), Taho Ruku Ro Rawi (Bertingkah Laku Yang Sopan), Londo Ro Dou (Berasal Dari Keturunan Yang Baik),Hidi Ro Tahona ( Sehat Jasmani Dan rohani), Mori Ra Woko (  Mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari).
Berkaitan dengan warna, unsur warna dalam seni rupa Bima terdiri dari dana kala(warna merah), dana monca(warna kuning), Dana Owa(Warna Biru), Dana Jao (Warna Hijau), Dana Keta (Warna Ungu), Dana Bako (warna merah jambu), Dana Me’e (Warna Hitam) dan Dana Lanta (Warna Putih). Setiap warna memiliki makna. Merah mengandung nilai keberanian. Putih mengandung nilai kesucian. Biru simbol kedamaian dan keteguhan hati. Kuning bermakna kejayaan dan kebesaran. Hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Warna Ungu,merah jambu dan hitam melambangkan kesbaran dan ketabahan. Sedangkan coklat melambangkan kesabaran dan ketabahan kaum perempuan dalam menjalankan tugas. Dalam Seni Rupa Bima warna paling dominan adalah hitam sebagai simbol Bumi (Tanah) bermakna kesabaran .
a.       Rumah Lengge
Rumah-Adat-Lengge.jpg
Lengge merupakan salah satu rumah adat tradisional Bima yang dibuat oleh nenek moyang suku Bima(Mbojo) sejak zaman purba. Sejak dulu, bangunan ini tersebar di wilayah Sambori, Wawo dan Donggo. Khusu di Donggo terutama di Padende dan Mbawa terdapat rumah yang disebut Uma Leme. Dinamakan demikian karena rumah tersebut sangat runcing dan lebih runcing dari Lengge. Atapnya mencapai hingga ke dinding rumah. Namun saat ini jumlah Lengge  atau Uma Lengge semakin sedikit. Di kecamatan Lambitu, Lengge dapat ditemukan di desa Sambori yang berjarak sekitar 40 km sebelah tenggara kota Bima. Meskipun ada juga di desa lain seperti di Kuta, Teta, Tarlawi dan Kaboro dalam wilayah kecamatan Lambitu.
Uma Lengge terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sedangkan lantai ketiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, palawija dan umbi-umbian. 
Pintu masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi dan sandi untuk para tetangga dan tamu. Menurut warga Sambori, jika daun pintu lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu menunjukan bahwa yang punya rumah sedang berpergian tapi tidak jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu ditutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama. 
Hal ini tentunya merupakan sebuah kearifan yang ditunjukkan oleh leluhur orang-orang Bima. Ini tentunya memberikan sebuah pelajaran bahwa meninggalkan rumah meski meninggalkan pesan meskipun dengan kebiasaan dan bahasa yang diberikan lewat tertutupnya daun pintu itu. Disamping itu, tamu atau tetangga tidak perlu menunggu lama karena sudah ada isyarat dari daun pintu tadi.
Bentuk Lengge mirip bangunan rumah panggung yang dibangun menggunakan bahan kayu dengan atap dari ilalang. Ukurannya sekitar 4 kali 4 meter, dengan tinggi hingga puncaknya mencapai 7 meter. Lengge ditopang empat kaki kayu, setinggi 1 meter. Di atas kaki kayu itu, ada semacam bale-bale tanpa dinding dengan 4 penyangga kayu setinggi 1,5 meter. Di atas bale-bale, ada ruangan berdinding kayu, tempat penyimpanan persediaan pangan. Atapnya dari ilalang yang berbentuk mengerucut ke atas.
2.5         PENGERTIAN SEHAT DAN SAKIT
Pengertian Sehat Sakit Menurut Keluarga Suku Mbojo yang Tinggal di Lombok
·      Pak Qisman dan Pak mempunyai persepsi yang sama tentang konsep sehat sakit. Menurut mereka sehat adalah suatu keadaan dimana sesorang dapat memenuhi semua kebutuhannya dan dapat beraktifitas sehari-hari sedangkan sakit adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat beraktifitas dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
                Pada saat sekarang, masyarakat suku Mbojo sudah mau berobat ke puskesmas ataupun rumah sakit yang ada, ini menandakan bahwa masyarakat suku Mbojo telah mengenal adanya fasilitas kesehatan yang ada pada saat kini dan meninggalkan kebiasaan kuno yang berobat pada dukun atau orang pintar.
2.6         KEBIASAAN DAN POLA MAKAN
a.       Kebiasaan dan Pola Makan Keluarga Pak Qisman
Awalnya keluarga Pak Qisman sulit beradaptasi dengan makanan lombok sehingga Pak Qisman tetap mengkonsumsi makanan bima yang diperoleh dari kiriman keluarganya. Namun, mereka sadar tidak selamanya mengkonsumsi makanan dari bima sehingga mereka beradaptasi dengan lingkungan dan seiring berjalannya waktu mereka terbiasa dengan makanan lombok tanpa melupakan makanan khas bima.
Makanan yang biasa dihidangkan oleh keluarga Pak Qisman adalah sambal doco, oi mangge, uta karamba, uta mbeca saronco, uta mbeca maci seperti uta mbeca parongge, bohi dungga, mangge mada, uta palumara, tumis sepi dan tota fo’o. Tetapi makanan yang paling disering dikonsumsi oleh keluarga Pak adalah tumis sepi, karamba dan uta mbeca parongge.
Meskipun anak-anak Pak Qisman dilahirkan dilombok tetapi tetap mengenalkan makanan khas bima. Anak-anaknya tetap mengkonsumsi makanan lombok dan menyukai makanan khas bima.
b.      Kebiasaan dan Pola Makan Keluarga Pak Adi
Awalnya keluarga Pak Adi sulit beradaptasi dengan makanan lombok. Namun, keadaan mengharuskan mereka mengkonsumsi makanan lombok sehingga keluarga Pak Adi lebih cepat beradaptasi dibandingkan dengan keluarga Pak Adi.
Meskipun mereka sudah terbiasa dengan makanan lombok tetapi mereka tidak melupakan makanan khas bima. Makanan khas bima yang dihidangkan oleh keluarga Pak Adi adalah uta mbeca saronco, uta mbeca parongge, tota fo’o, dan doco tomat.
2.7         TABU,  PANTANGAN TERHADAP MAKANAN SERTA TAHAYUL PADA SUKU MBOJO
a.       Tabu dan Pantangan
1.      Telur dan Mie
Telur dan mie merupakan salah satu bahan makanan yang sangat disukai noleh masyarakat pada umumnya. Namun pada masyarakat suku Mbojo menganggap bahwa telur dan mie dengan konsumsi terlalu banyak dapat menyebabkan gatal – gatal pada anak balita.
2.      Ikan
Ikan merupakan salah satu bahan makanan hewani yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya. Namun, menurut masyarakat suku Mbojo menganggap jika terlalu mengkonsumsi banyak ikan maka anak balita akan kecacingan.
3.      Lutut sapi
Menurut suku Mbojo apabila ada luka pada bagian lutut kemudian mengkonsumsi lutut sapi maka akan lama proses penyembuhannya.
b.      Tahayul pada suku Mbojo
1.      Tidak boleh keluar atau bermain pada saat maghrib
Menurut suku Mbojo, anak-anak dilarang keluar atau bermain pada saat maghrib. Ini dilakukan sejak lama dan turun temurun.


























BAB III
PENUTUP
            KESIMPULAN
                        Begitu banyak ragam budaya dan khas makanan bima membuat orang Bima begitu mencintai daerahnya. Bahkan bagi masyarakat Bima yang merantaupun tetap berusaha mempertahankan adat dan pola makan seperti di Bima meskipun tidak sepenuhnya  (atau dicampur dengan kebiasaan setempat). Contohnya masyarakat Bima yang tinggal di Lombok, masih mempertahankan adat Bima dalam rangka merayakan upacara-upacara tertentu.Orang Bima meskipun tinggal di Lombok, mereka tetap menyukai makanan-makanan khas Bima yang biasa disajikan dalam masakan keluarga sehari-hari, bahkan mereka tetap memperkenalkan makanan Bima kepada anak-anaknya meskipun anaknya lahir di Lombok.Orang Bima membiasakan diri makan makanan Lombok dalam upaya beradaptasi, karena mereka sadar tidak selamanya mereka mengkonsumsi makanan khas Bima di lingkungan baru yang mereka tempati.
Jadi, dimanapun orang Bima tinggal. Mereka tidak akan pernah melupakan adat dan makanan khas mereka. Meskipun mereka terbiasa dengan makanan di daerah setempat, namun makanan khas tetap menjadi makanan favorit mereka.

            SARAN
Inilah yang dapat kelompok kami tulis meskipun tulisan ini belum dapat dikatakan sempurna dan kami membutuhkan kritik/saran agar menjadi motivasi kami untuk belajae lagi agar lebih baik pada tulisan selanjutnya.









DAFTAR PUSTAKA
Anonim,2015,Kebudayaan Suku Mbojo,http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1118/suku-bima-dou-mbojo,diakes tanggal 27 April 2015.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar