KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam,
karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami
yang berjudul “Sosial dan Budaya Makan Keluarga Suku Mbojo, di Kota Mataram”
dengan sebaik mungkin.
Di dalam makalah ini, akan dipaparkan mulai
dari persepsi keluarga terhadap sehat dan sakit sampai kebudayaan dari suku
mbojo.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita dan pembaca dapat belajar
dengan baik.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata kami
sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam
penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhai segala
usaha kita. Amin.
Mataram,
April 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ..... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH................................................................................................. 1
1.3.. TUJUAN........................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
2.1 Profil Responden............................................................................................................... 3
2.2Sejarah Suku Mbojo.............................................................................................................. 3
2.3Makna
Bahasa Mbojo........................................................................................................... 4
2.4Upacara,
Adat, Tradisi dan Makanan Khas Mbojo.............................................................. 8
2.5
Pengertian Sehat dan Sakit................................................................................................ 20
2.6
Kebiasaan dan Pola Makan................................................................................................ 20
2.7
Tabu, Pantangan Makan dan Tahyul Suku Mbojo............................................................. 21
BAB III PENUTUP..................................................................................................................... 23
KESIMPULAN........................................................................................................................... 23
SARAN ........................................................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan Negara dengan tingkat kemajemukan yang
tinggi. Kemultikulturan tersebut terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang
ada di Indonesia.Dalam buku “Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia” karya antropolog
Zulyani Hidayah, tercantum sebanyak 656 suku bangsa di Indonesia. Untuk merinci
unsur-unsur bagian dari suatu kebudayaan suku bangsa yang disusun berdasarkan
suatu kerangka etnografi yang terdiri dari nama suku bangsa, lokasi, lingkungan
alam dan demografi, asal mula dan sejarah, bahasa, sistem teknologi, sistem
mata pencaharian, organisasi social, sistem pengetahuan, kesenian, agama dan
sistem religi serta pola makan dari suku Mbojo ini.
Dikarenakan banyaknya suku bangsa
yang terdapat di Indonesia, maka kemajemukan suku bangsa tersebut jarang
dimengerti oleh generasi muda saat ini, selain itu perkembangan zaman akibat
pengaruh globalisasi juga mempengaruhi pola kehidupan dan interaksi suku bangsa
tersebut. Suku Mbojo merupakan salah satu suku di Indonesia yang telah
mengalami modernisasi dalam hal pola kehidupan, budaya maupun interaksi. Untuk
itu kami akan membahas pola kehidupan, budaya serta pola makan dari Suku Mbojo.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
a. Bagaimana
sejarah suku mbojo?
b. Apa
makna bahasa di dalam Masyarakat Suku Mbojo?
c.
Bagaimana
Upacara, Adat, Tradisi Dan Makanan Khas Mbojo?
d.
Bagaimanakah pola makan suku Mbojo?
e.
Apa saja kepercayaan dan tahayul serta pantangan tmakan bagi
masyarakat suku Mbojo?
1.3
TUJUAN
a.
Untuk mengetahui kebudayaan masyarakat suku Mbojo
b.
Untuk mengetahui makna bahasa di dalam masyarakat suku Mbojo
c.
Untuk mengetahui Upacara, Adat, Tradisi Dan Makanan Khas Mbojo
d.
Untuk mengetahui pola makan suku Mbojo
e.
Untuk mengetahui kepercayaan dan tahayul pantangan makan bagi
masyarakat suku Mbojo
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PROFIL
RESPONDEN
a. Keluarga
Pak Qisma
Alamat : jalan danau
sidendeng no. 12, btn pagutan permai
Anggota Keluarga :
·
Kepala
Keluarga : Qisman
·
Ibu :
Arum
·
Anak I :
Arman aryadi zulkarnaen
·
Anak II :
Ismadi Ddwi putra
·
Anak III : kurnia
dinda yuniasari
Keluarga Pak Qisman sudah menetap di Lombok selama 21
tahun. Keluarga pak Qisman berasal dari Desa Bonto Kape-Bima, beliau tinggal di lombok karena di tugaskan di Lombok kare
pekerjaan sebagai anggota PORLI.
b.
Keluarga Pak Adi
Alamat : Jalan Saleh
Sungkar Gg. Sawah, Ampenan Kebon Roek
Anggota Keluarga :
·
Kepala Keluarga :
Adi Saputra
·
Ibu :
Astuti
·
Anak I :
Rifki
·
Anak II :
Rafli
Keluarga pak Adi sudah menetap di Lombok selama 13 tahun. Keluarga pak Adi
berasal dari Bima, beliau tinggal di lombok karena merantau mencari pekerjaan
dan sekarng beliau membuka took pakaian.
2.2
SEJARAH
SUKU MBOJO
Berbagai versi menyebutkan asal mula kata
Bima menjadi suku tersebut. Ada yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”.Hal
ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam. Menurut sebuah legenda, kata
Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.
Legenda tersebut tertulis
dalam Kibat Bo’. Ceritanya berawal dari kedatangan seorang pengembara dari Jawa
yang bernama Bima tadi.Bima merupakan seorang Pandawa Lima yang melarikan diri
ke Bima pada masa pemberontakan di Majapahit.Dia melarikan diri melalui jalur
selatan agar tidak diketahui oleh para pemberontak, lalu berlabuh di Pulau
Satonda.
Bima menikah
dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, dan memiliki anak. Bima
memiliki karakter yang kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak
mudah mencurigai orang lain. Lalu, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja
pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima.Sang
Bima dianggap sebagai raja Bima
pertamanya.
Hanya saja, Sang
Bima meminta kepada para Ncuhi supaya anaknya yang diangkat sebagai raja.
Sementara dia sendiri kembali lagi ke Jawa dan menyuruh dua anaknya untuk
memerintah di Kerajaan Bima.Oleh karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuno
kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.
Nama Bima
sendiri sebenarnya adalah sebutan dalam bahasa Indonesia, sementara orang Bima sendiri menyebutnya Mbojo. Saat
menggunakan bahasa Indonesia untuk merujuk “Bima”, yang digunakan tetap harus
mengucapkan kata “Bima”. Tetapi bila menggunakan bahasa daerah Bima untuk
merujuk ”Bima”, kata yang digunakan secara tepat adalah “Mbojo”. Mbojo ini
merupakan salah satu suku Bima karena dalam suku Bima sendiri ada dua suku,
yakni suku Donggo dan suku Mbojo.Suku Donggo atau orang Donggo dianggap sebagai
orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.
2.3
MAKNA
BAHASA MBOJO
Suku Mbojo memiliki beragam bahasa dan
dialek yang berasal dari berbagai wilayah di suku Mbojo. Dari setiap bahasa
yang digunakan memiliki arti dan makna sendiri. Adapun bahasa Mbojo yang di
maksud adalah sebagai berikut :
a.
Kalembo ade
Kalembo Ade" adalah kata
subyek yang selalu diucapkan dalam dioalog dou Mbojo (bima) yang makna dari
kata kalembo ade itu sendiri akan berubah-ubah sesuai dengan kata obyek yang
dituju. Seperti dalam Bahasa Indonesia, ungkapan sering terbentuk dari berbagai
unsur. ungkapan kalembo ade ini selalu mewarnai kegiatan/alur berkomunikasi
dalam keseharian warga Mbojo (bima). Frekuensi penggunaannya pun , boleh
dikatakan, tiada hari tanpa ada ungkapan kalembo ade , bahkan tiada jam tanpa
ada kalembo ade.
Secara sederhana, dapat dikatakan
maknanya adalah bersabar. Itu dipahami karena ungkapan itu terbentuk dari kata
kalembo (sabar) ade (hati). Jadi kalembo ade artinya bersabar yang
berarti keikhlasan hati nurani.
Setelah diadakan
penelitian sederhana, tafsiran
kita terhadap ungkapan kalembo ade, memang beragam maknanya. Untuk tidak
sekedar diperbincangkan, berikut ini, disajikan sebagai berikut:
1. Kalembo ade bermakna: tidak mudah
putus-asa. Ketika kita mengalami kesulitan, seperti kekurangan uang untuk
membayar SPP, orang yang paling dekat dengan kita selalu menggunakan
ungkapan,”Kalembo ade, kata orang bijak, sabar akan menjadi subur”. Atau salah
satu krabat kita tertimpa musibah meninggal dunia, maka semua yang melayat
tidak akan terlewatkan kata kalembo ade baru ditambahkan kata-kata lain yang
menyetuh misalnya : "Kalembo ade ari e, aina ipi nangi, ndai ta manusia ke
di mamade menampa” yang artinya "jangan terlalu sedih (menangis)
dik, karena kita sebagai manusia, semuanya bakal meninggal”
2. Kalembo ade bermakna: tidak
tergesa-gesa. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak di antara kita
dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan maunya cepat selesai, orang akan
menganggap pekerjaan yang dikerjakan dengan terburu-buru hasilnya tidak akan
maksimal maka orang itu pasti akan menegur atau mengingat kita dengan kata
: Kalembo ade, ai na ipi hura-hara krawi re, kanari-nari mpa diloa taho
kai ndadina (jangan terlalu terburu buru, pelan - pelan saja, biar hasilnya
maksimal)
3. Kalembo ade bermakna : teliti dan
tekun, dalam hal belajar misalnya, kita disarankan agar selalu memperhatikan
dan memahami sepenuhnya tentang apa yang kita pelajari, Belajar dan belajar,
tetap semangat untuk belajar, biasanya orang terdekat kita akan mengingatkan
seperti ini ”Kalembo ade, tanao kapoda ademu, diloa kai raka aura ne'e mu"
(belajar yang sungguh-sungguh agar cita-citamu tercapai).
4. Kalembo ade bermakna jengkel atau
marah.Ketika kita menagih utang kepada teman, kemudian teman kita selalu
menunda-nunda pembayarannya, maka terkadang kesabaran kita habis sudah maka
tanpa disadari emosional kita meledak dalam seketika. Kalembo ade ya, sambil
menunjuk –tunjuk jemari kita di depan mata seseorang ; ”Kalembo ade , cina e,
ndaim ma ka susah podaku ake, nahu ke, ngge'e nggongga senai-naiku di ake pala
watipu cola conggo, bone aiku colamu" (banyak maaf teman, tiap hari saya
bolak balik kesini tapi belum bayar juga utangmu, kapan kamu mau bayar).
5. Kalembo ade bermakna: merendahkan diri.
Pada waktu kita memberikan hadiah yang mahal harganya, tapi justeru kita
mengatakan kalemboade hanya itu yang bisa kita berikan. Jauh dari lubuk hati si
penerima mengatakan wah…, sudah dikasih hadiah yang mahal harganya malah
dikatakan kalembo ade, biasanya sambil menyerahkan hadiah tersebut diiringi
ucapan ”Kalembo ade, ake mpa mara wara, diloa kai samada angi ndai!”
(mohon maaf, hanya ini yang dapat aku berikan sebagai kenang-kenangan antara
kita)
6. Kalembo ade bermakna: mohon maaf.
Dalamkeseharian, kita terkadang terlambat datang pada suatu pertemuan. Oleh
karenaitu, kita selalu meminta maaf atas keterlambatan kita. biasanya
diungkapkan demikian,” Kalembo ade, mada wara sengiri ke“ (banyak maaf saya
agak terlambat).
7. Kalembo ade bermakna: tegur-sapa.
Menegur atau menyapa adalah pola komunikasi yang sangat bermanfaat bagi sesama,
begitupun di Bima, digunakan dalam kehidupan sehari-hari, Misalnya, “Kalembo
ade, ampo ja eda angi, tabe ku ra lao kai re (mohon maaf, kita kayaknya
baru bertemu deh, kemana saja selama ini).
b. Nggahi Rawi
Pahu
Nggahi rahi pahu merupakan Falsafa daerah yang
diciptakan oleh orang-orang Dompu dulu, yang sampai sekarang Kata Nggahi Rawi
pahu dibumikan oleh Masyarakat dan pemerintah Kabupaten Dompu sebagai ciri khas
Daerah yang memiliki makna yang sangat dalam bila kita mengkajinya.
Arti yang sebenarnya dari kata Nggahi Rawi pahu adalah pertama,
(Nggahi). Nggahi yang artinya bilang/mengatakan sesuatu apa yang
dipikirkan dan apa yang dilihat yang keluar dari mulut seseorang. Kedua,
Rawi; kata Rawi yang artinya “perbuatan/sikap” seseorang yang hasil dari
apa yang mereka katakana terus yang dapat diaplikasikan langsung melalui sikap
atau perbuatan seseorang. Dan yang ketiga, Pahu; kata pahu yang maknanya
“bentuk/wujud” atau bukti nyata dari apa yang dikatakan/bicarakan dan
langsung dilakukan dengan sikap/perbuatan,sehingga tidak sia-sia apa yang
mereka katakana dihadapan orang lain.
c.
Maja Labo Dahu
Mbojo memiliki semboyan yang
dikenal dengan sebutan “Maja Labo Dahu”. Setiap aturan yang berdasarkan budaya
ataupun hasil karya manusia adalah tidak akan pernah lepas dari aturan tuhan,
mulai dari undang-undang Negara sampai pada tataran kebudayaan seperti yang
dimilki oleh Bima itu sendiri. Kata Maja berarti Malu, Labo berarti dan serta
Dahu berarti Takut. Jika kita meninjau kata di atas secara semantik atau
maknawi, Maja (malu) bermaknakan bahwa orang ataupun masyarakat Bima akan malu
ketika melakukan sesuatu diluar daripada koridor tuhan, apakah itu kejahatan,
perbuatan dosa dan lain sebagainya baik yang berhubungan dengan manusia ataupun
terhadap tuhannya. Dahu (takut), hampir memilki proses interpretasi yang sama
dengan kata Malu tersebut. Sama-sama takut ketika melakukan sesuatu kejahatan
ataupun keburukan. Sebagai tambahan bahwa, orang Bima akan malu dan takut
pulang ke kampung halaman mereka ketika mereka belum berhasil di tanah
rantauan.
d. Santabe
Kata Santabe
yang artinya “permisi”. Setiap orang yang mau lewat dihadapan
orang-orang duduk dan ngumpul maka kata Santabelah yang harus kita sapa
sebabagai bentuk tradisi budaya yang saling menghargai orang lain.
2.4
UPACARA,
ADAT, TRADISI, dan MAKANAN KHAS SUKU MBOJO
Secara umum kebudayaan keluarga suku Mbojo yang tinggal di mataram
tetap dipertahankan seperti Wa,a co’i, kapanca, nuzu bulan, akikah, khitan,
compo sampari, compo baju, sunatan, do’a rasu, silaturrahmi dan mbolo weki.
Makanan yang dihidangkan dalam acara sunatan dan resepsi pernikahan
dikombinasi antara makan khas lombok dan khas bima seperti gule daging, sate,
acar, palumara (singang), urap, dan saronco hi’i. Sedangkan budaya seperti doa
rasu, silaturahmi dan nuzul bulan tetap mempertahankan makanan khas bima.
a.
Upacara
Adat dan Tradisi
Suku Mbojo berbagai
macam upacara adat dan tradisi yang dilakukan pada saat hari – hari tertentu,
antara lain :
1.
Wa’a coi
Wa’a coi
maksudnya adalah upacara menghantar mahar atau mas kawin, dari keluarga pria
kepada keluarga sang gadis. Dengan adanya uacara ini, berarti beberapa hari
lagi kedua remaja tadi akan segera dinikahkan. Banyaknya barang dan besarnya
nilai mahar, tergantung hasil mufakat antara kedua orang tua remaja tersebut.
Pada umumnya mahar berupa rumah, perabotan rumah tangga, perlengkapan tidur dan
sebagainya. Tapi semuanya itu harus dijelaskan berapa nilai nominalnya.
Upacara
mengantar mahar ini biasanya dihadiri dan disaksikan oleh seluruh anggota
masyarakat di sekitarnya. Digelar pula arak-arakan yang meriah dari rumah orang
tua sang pria menuju rumah orang tua perempuan. Semua perlengkapan mahar dan
kebutuhan lain untuk upacara pernikahan seperti beras, kayu api, hewan ternak,
jajan dan sebagainya ikut dibawa.
2.
Kapanca
Upacara
Peta Kapanca adalah salah satu bagian dari prosesi perkawinan Adat Bima.
Biasanya upacara ini dilaksanakan sehari sebelum dilaksanakan Akad Nikah dan
Resepsi perkawinan. Peta Kapanca adalah melumatkan Daun pacar(Inai) pada kuku
calon pengantin wanita yang dilakukan secara bergantian oleh ibu-ibu dan tamu
undangan yang semuanya adalah kaum wanita.
Makna
dari upacara Kapanca ini merupakan peringatan bagi calon pengantin wanita bahwa
dalam waktu yang tidak lama lagi akan melakukan tugas dan fungsi sebagai ibu
rumah tangga atau istri. Disamping itu, Kapanca dimaksudkan untuk memberi
contoh kepada para gadis lainnya agar mengikuti jejak calon penganten wanita
yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ratu yang akan mengakhiri
masa lajangnya sehingga mereka dapat mengambil hikmah.
3. Nuzul Bulan
Nuzul Bulan adalah
suatu acara yang dilaksanakan pada usia kehamilan 7 bulan yang bertujuan untuk
keselamatan dengan harapan bayi yang dikandung lahir sehat. Prosesi acara ini
melibatkan sesepuh yang telah lama tinggal di mataram. Makanan yang dihidangkan
dalam acara ini adalah pisang ambon, oha mina serta karaba, pangaha bunga, bolu
dan mangonco (rujak). Rujak yang dibuat oleh pihak acara diberikan kepada para
undangan. Menurut kepercayaan masyarakat suku Mbojo, jika rujak yang diberikan
rasanya pedas maka anak yang dikandung adalah anak laki-laki. Sedangka jika
rujak yang diberikan rasanya manis maka anak yang dikandung adalah anak
perempuan.
4.
Khitan
Upacara khitanan
dalam adat Mbojo disebut upacara suna ro ndoso (Suna = sunat. Ndoso = memotong
atau meratakan gigi secara simbolis sebelum sunat). Biasanya upacara suna ro
ndoso dilakukan ketika anak berumur lima sampai tujuh tahun. Bagi anak
perempuan antara dua sampai dengan empat tahun. Upacara khitan bagi anak
laki-laki disebut suna. Sedangkan bagi puteri disebut”sa ra so”. Sebelum di
khitan terlebih dahulu akan di lakukan compo sampari dan compo baju pada anak
laki – laki dan perempuan. Dalam acara khitan serta compo sampari dan compo
baju terdapat makanan yang sering disajikan seperti : uta janga puru (ayam
bakar), sia dungga, uta mbeca ro,o parongge,oha mina, kalo.
5.
Compo
sampari
Upacara compo
Sampari atau pemasangan keris( memakaikan keris) kepada anak laki – laki yang
akan di Suna Ro Ndoso. Dilakukan oleh seorang tokoh adat, diawali dengan
pembacaan do’a disusul dengan membaca shalawat Nabi. Upacara ini digelar
sebagai peringatan bahwa sebagai anak laki – laki harus memiliki kekuatan
dan keberanian yang dilambangkan dengan sampari (keris).
6. Compo baju
Upacara compo
baju yaitu upacara pemasangan baju kepada anak perempuan yang akan di saraso
ro ndoso. Baju yang akan dipasang sebanyak 7 lembar baju poro(Baju
pendek) yang dilakukan secara bergilir oleh para tokoh adat dari kaum ibu.
Makna compo baju adalah merupakan peringatan bagi anak, kalau sudah di
saraso berarti sudah dewasa. Sebab itu harus menutup aurat dengan
rapi. Tujuh lembar baju adalah tujuh simbol tahapan kehidupan yang
dijalani manusia yaitu masa dalam kandungan, masa bayi, masa kanak – kanak,
masa dewasa, masa tua, alam kubur dan alam baqa(akherat).
7. Doa rasu
Doa rasu adalah suatu
kebiasaan berdoa pada hari jum’at yang dilaksanakan pada pagi hari, dimana
maksud acara ini sebagai ungkapan rasa syukur dan sebagai tola bala agar
keluarga tersebut terhindar dari bencana dan mala petaka. Biasanya anak-anak
dikumpulkan setelah sholat subuh atau sebelum matahari terbit dan diberikan
makan berupa karedo (bubur) yang diletakan di atas nare yang dialasi daun
pisang. Tempat makan diadakan doa rasu tergantung pada tujuan yang membuat
acara seperti di depan pintu bertujuan untuk memurahkan rejeki.
8.
Silaturahmi
Silaturrahmi adalah
suatu kebiasaan suku Mbojo mengunjungi keluarga atau kerabat untuk mempererat
tali persaudaraan. Bagi masyarakat suku Mbojo mengadakan silaturahmi berupa
acara arisan, dimana masyarakat suku Mbojo menyempatkan diri berkumpul ditengah
kesibukan mereka masing-masing dan dengan arisan itu mereka saling mengenal
sehingga ikatan persaudaraan mereka lebih erat. Pada acara ini makanan yang
dihidangkan adalah makanan khas bima yang dibuat oleh tuan rumah.
9.
Mbolo
weki
Mbolo weki adalah upacara musyawarah dan
mufakat seluruh keluarga maupun handai taulan dalam masyarakat untuk
merundingkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan hajatan/rencana
perkawinan yang akan dilaksanakan. Dalam tradisi khitanan juga demikian. Hal-hal
yang dimufakatkan dalam acara mbolo weki meliputi penentuan hari baik, bulan
baik untuk melaksanakan hajatan tersebut serta pembagian tugas kepada keluarga
dan handai taulan. Bila ada hajatan pernikahan, masyarakat dengan sendirinya
bergotong royong membantu keluarga melaksanakan hajatan. Bantuan berupa uang,
hewan ternak, padi/beras dan lainnya. Dalam acara mbolo weki ini biasanya di
sajikan beberapa macam jajanan seperti bolu, dadar, pisang, binka dolu.
b. Makanan Khas Suku Mbojo
Suku Mbojo memiliki masakan dan jajanan yang khas yaitu :
1. Mina sarua

Minasarua
merupakan makanan khas orang Sila, karena orang Sila turun temurun tiap
generasi diajarkan cara membuat Minasarua, terbuat dari bahan rempah-rempah
yang bermanfaat sebagai obat atau biasa disebut minuman penghangat tubuh atau
untuk daya tahan tubuh dari penyakit. Di Bima hanya di Sila yang banyak
terdapat rumah-rumah pembuat Minasarua yang hingga kini masih ada dan banyak.
Proses pembuatan Mina Sarua berlangsung selama dua hari.
Campuran beras ketan dan ragi akan di diamkan selama satu malam. Paginya
rempah-rempah antara lain Jahe, Merica dan Lada, di goreng. Lalu beras ketan
yang telah menjadi tape ketan itu di campur dengan rempah yang telah di goreng.
Kemudian di masak bersama santan kelapa dan siap di sajikan.
Namun Mina sarua ini rasanya tidak nikmat tanpa pelengkap
yaitu TaI Mina. TaI Mina ini dibuat terpisah dan berbahan dasar kelapa parut.
Kelapa tersebut diolah dengan minyak dan campuran sedikit bumbu. Cara
penyajiannya, TaI Mina dicampur atau di tabur dalam Mina Sarua.
Mina Sarua berasal dari kata Minyak Saruang, berupa minyak
oles yang berfungsi sebagai obat keseleo, sakit perut, masuk angin dan beberapa
manfaat lainnya, yang pertama kalinya di racik oleh orang Sumbawa.
Setelah beberapa orang Sumbawa itu merantau ke Bima, tepatnya
di Wilayah Sila, merekapun membawa minyak Saruang untuk di perkenalkan pada
warga setempat. Oleh orang-orang Bima, kemudian meracik obat tersebut menjadi
minuman penghangat tubuh.
Akhirnya bahan dasar rempah minyak Saruang di padu dengan
tape ketan. Karena dialeg Bima yang pada umumnya tidak kesampean, maka secara
gamblang saja Minyak Saruang berubah nama menjadi Mina Sarua.
2.
Bingka dolu

Bingka
Dolu adalah sejenis kue khas Bima Dompu yang berbahan dasar tepung terigu,
telur, gula dan beberapa adonan lainnya. Bahan yang dibutuhkan 500gr tepung terigu, 500gr telur, 400gr gula
pasir, 5 gelas santan dari 2 kelapa ukuran sedang, 1 gelas air pandan suji
(untuk pewarna hijau), ½ sendok teh garam danMinyak untuk mengoles cetakan.
3. Pangaha bunga
Pangaha bunga atau Jajan Bunga dan
Jajan Cincin (Pangaha bunga dan pangaha sinci : Bahasa Bima) merupakan diantara
sekian jenis makanan khas daerah Bima yang secara turun temurun di lestariakan
hingga saat ini. Bahan-bahan kedua jenis jajan ini sangatlah sederhana. Semua
orang pasti bisa membuatnya jika mengetahui bahan da cara pembuatannya. Tetapi
belum tentu rasa yang di hasilkan se-nikmat rasa yang tercipta dari tangan para
pembuat (pengrajin) asli. Tangan-tangan mereka telah terbiasa dan memiliki
teknik-teknik yang mungkin tak di ketahui oleh orang lain.
4.
Oi mange


5. Tumis sepi

c.
KERAJINAN
SERTA RUMAH ADAT SUKU KHAS BIMA
1. Gelas songga
Gelas Songga, merupakan produk khas daerah Bima – Nusa
Tenggara Barat yang digunakan untuk pengobatan berbagai macam penyakit.

Adapun manfaat dari kayu songga atau gelas songga antara lain:
a.
Menurunkan
kadar gula darah bagi penderita diabetes
b.
Mengatasi
asam urat, darah tinggi, darah koto
c.
Mengobati
Malaria
d.
Mengobati
kurang nafsu makan
e.
Mengobati
radang lambung, kurang nafsu makan, cacar air, badan lemah dan badan panas atau
dingin
f.
Serta
berbagai penyakit dalam lainnya.
Songga/
Bidara Laut mengandung zat-zat :
Logarin, Silikat, Styrikhnos, Mangan, Lemak, Zat Samak, Tembaga, Protein, Alkoloida / Strich in Bruin
Logarin, Silikat, Styrikhnos, Mangan, Lemak, Zat Samak, Tembaga, Protein, Alkoloida / Strich in Bruin
Cara
Penggunaan :
-
Masukan
air hangat ke dalam Gelas Kayu Songga
-
Biarkan
sampai 1-5 Menit
-
Minum
air larutan dalam Gelas sebagai pengobatan 1-2 kali sehari
-
Gelas
bisa dipakai minum berulang-ulang sampai dengan rasa pahit yang dihasilkan
sudah tidak terasa.
Perhatian
:
-
Jangan
diisi air panas atau air es, dapat menyebabkan gelas pecah
-
Khusus
penderita darah rendah agar tidak terlalu banyak mengkonsumsi
2. Tembe
Kota
Bima merupakan suatu daerah kaya akan kekayakan budaya dan adat istiadat. Orang
Bima mengenal tenunan sejak bedirinya Negara islam di Bima pada 15 rabiul awal
1050 hijriah. Awal pertama kali masyarakat Mbojo mengenal pembuatan tenunan
biasa mereka menyebutnya dengan ”Tembe’ dimana tujuan utama pembuatan
tembe tersebut sebagi pakaian yang menutup auratnya serta sebagai motivasi
peradaban keagamaan mereka pada zaman dulu.
Dimana tembe
ini dikenal bebrapa jenis yaitu tembe nggoli, tembe songket, tembe kafa na’e,
tembe me’e, tenunan ini merupakan salah satu hasil kerajinan khas daerah Mbojo
Bima yang dikenal di beberapa daerah.
Mengapa
dikatakan tenunan tradisional karena alat-alatnya di buat secara tradisional
seperti tampe, tandi, ku’u, poro’ cau, lihu, lira lili, dll. Pekerjaaan tenunan
ini dilakukan oleh kaum perempuan remaja dan ibu-ibu.


Adapun
proses pembuatan tenunan tersebut cukup rumit di mulai dari :
a.
Menggulung
benang-benang pada seruas bambu dengan menggunakan alat sederhana.
b.
Benang
yang digulung tadi kemudian dililitkan pada sebuah benda yang dirancang khusus
seperti garpu, biasanya garpu yang satu terdiri dari tiga garpu, sedangkan yang
lainnya empat garpu.Setelah lilitanya selesai baru ujung-ujung benang tadi
diselipkan ke sisir (cau) serta alat-alat lain yang diperlukan.
c.
Benang-benang
yang sudah dipasang tadi ditarik lurus sekencang-kencangnya untuk mengetahui
apakah ada benang yang salah ataupun dimasukan kedalam sisir tadi.
d.
Benang
itu digulung dengan rapi dan siap untuk di tenun.
Tidak semua orang Bima dapat
bertenun sarung, hanya orang-orang yang memiliki kosentrasi dan ketelilitian
yang tinggi kalau tidak maka bagian tepi sarungnya tidak rata. Tetapi apalah
yang tidak bisa kita lakukan kalau kita memiliki keamauan untuk berlatih dan
tekun belajar maka pastilah bisa.
Ragam motif tenunan Bima relatif
sedikit bila dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Motif tenunan Bima hanya
menampilkan satu dari sekitar sembilan ragam motif hiasan dalam satu lembar
sarung atau pakaian. Misalnya kalau hiasan bunga sekuntum (Bunga Satako) tidak
dapat disertakan dengan Bunga Aruna( Bunga Nenas).Berikut beberapa motif dan
makna dari ragam hiasan dalam tenunan khas Bima.
1. Bunga Samobo (bunga Sekuntum),
sebagai mahluk sosial manusia selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus
bermanfaat bagi orang lain, laksana sekuntum bunga yang memberikan aroma harum
bagi lingkungannya.
2. Bunga Satako (Bunga Setangkai),
sebagai simbol kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi
anggota keluarga dan masyarakat. Bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar
keharuman bagi lingkungannya.
3. Bunga Aruna (Bunga Nenas). Nenas yang
terdiri dari 99 sisik(helai) merupakan simbol dari 99 sifat utama Allah yang wajib
dipedomani dan diteladani oleh manusia dalam menjalankan kehidupan agar
terwujud kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
4. Bunga Kakando (Rebung) mengandung
makna hidup yang penuh dinamika yang mesti jalani dengan penuh semangat.
Disamping mengenal motif bunga,
tenunan Bima juga mengenal motif geometri seperti Gari(garis), Nggusu Tolu atau
Pado Tolu( Segitiga), Nggusu Upa (Segi empat, Pado Waji (Jajaran Genjang),
serta Nggusu Waru ( Segi Delapan ). Motif Gari(Garis) mengandung makna bahwa
manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti
lurusnya garis. Nggusu Tolu(Segitiga) berbentuk kerucut mengandung makna bahwa
kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak kerucut
yang lancip. Nggusu Upa atau segi empat merupakan simbol kebersamaan dengan
tetangga dan kerabat. Motif Pado Waji hampir sama maknanya dengan Nggusu Tolu,
tetapi selain mangakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan pemimpin
yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian kiri kanannya. Sedangkan Nggusu
Waru, idealnya seorang pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu
:Beriman Dan Bertaqwa, Na Mboto Ilmu Ro Bae Ade ( Memiliki ilmu dan pengetahuan
yang luas), Loa Ra Tingi ( Cerdas Dan Terampil), Taho Nggahi Ra Eli (Bertutur
kata yang halus dan sopan), Taho Ruku Ro Rawi (Bertingkah Laku Yang Sopan),
Londo Ro Dou (Berasal Dari Keturunan Yang Baik),Hidi Ro Tahona ( Sehat Jasmani
Dan rohani), Mori Ra Woko ( Mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari).
Berkaitan dengan warna, unsur warna
dalam seni rupa Bima terdiri dari dana kala(warna merah), dana monca(warna
kuning), Dana Owa(Warna Biru), Dana Jao (Warna Hijau), Dana Keta (Warna Ungu),
Dana Bako (warna merah jambu), Dana Me’e (Warna Hitam) dan Dana Lanta (Warna
Putih). Setiap warna memiliki makna. Merah mengandung nilai keberanian. Putih
mengandung nilai kesucian. Biru simbol kedamaian dan keteguhan hati. Kuning
bermakna kejayaan dan kebesaran. Hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
Warna Ungu,merah jambu dan hitam melambangkan kesbaran dan ketabahan. Sedangkan
coklat melambangkan kesabaran dan ketabahan kaum perempuan dalam menjalankan
tugas. Dalam Seni Rupa Bima warna paling dominan adalah hitam sebagai simbol
Bumi (Tanah) bermakna kesabaran .
a. Rumah Lengge

Lengge merupakan salah satu rumah
adat tradisional Bima yang dibuat oleh nenek moyang suku Bima(Mbojo) sejak
zaman purba. Sejak dulu, bangunan ini tersebar di wilayah Sambori, Wawo dan
Donggo. Khusu di Donggo terutama di Padende dan Mbawa terdapat rumah yang
disebut Uma Leme. Dinamakan demikian karena rumah tersebut sangat runcing dan
lebih runcing dari Lengge. Atapnya mencapai hingga ke dinding rumah. Namun saat
ini jumlah Lengge atau Uma Lengge semakin sedikit. Di kecamatan Lambitu, Lengge
dapat ditemukan di desa Sambori yang berjarak sekitar 40 km sebelah tenggara
kota Bima. Meskipun ada juga di desa lain seperti di Kuta, Teta, Tarlawi dan
Kaboro dalam wilayah kecamatan Lambitu.
Uma
Lengge terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu
dan kegiatan upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur
sekaligus dapur. Sedangkan lantai ketiga digunakan untuk menyimpan bahan
makanan seperti padi, palawija dan umbi-umbian.
Pintu
masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi
dan sandi untuk para tetangga dan tamu. Menurut warga Sambori, jika daun pintu
lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu menunjukan bahwa yang punya rumah
sedang berpergian tapi tidak jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu ditutup,
berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif
lama.
Hal
ini tentunya merupakan sebuah kearifan yang ditunjukkan oleh leluhur
orang-orang Bima. Ini tentunya memberikan sebuah pelajaran bahwa meninggalkan
rumah meski meninggalkan pesan meskipun dengan kebiasaan dan bahasa yang
diberikan lewat tertutupnya daun pintu itu. Disamping itu, tamu atau tetangga
tidak perlu menunggu lama karena sudah ada isyarat dari daun pintu tadi.
Bentuk Lengge mirip bangunan rumah
panggung yang dibangun menggunakan bahan kayu dengan atap dari ilalang.
Ukurannya sekitar 4 kali 4 meter, dengan tinggi hingga puncaknya mencapai 7
meter. Lengge ditopang empat kaki kayu, setinggi 1 meter. Di atas kaki kayu
itu, ada semacam bale-bale tanpa dinding dengan 4 penyangga kayu setinggi 1,5
meter. Di atas bale-bale, ada ruangan berdinding kayu, tempat penyimpanan
persediaan pangan. Atapnya dari ilalang yang berbentuk mengerucut ke atas.
2.5
PENGERTIAN
SEHAT DAN SAKIT
Pengertian Sehat Sakit
Menurut Keluarga Suku Mbojo yang Tinggal di Lombok
·
Pak Qisman dan Pak mempunyai persepsi yang sama tentang konsep
sehat sakit. Menurut mereka sehat adalah suatu keadaan dimana sesorang dapat
memenuhi semua kebutuhannya dan dapat beraktifitas sehari-hari sedangkan sakit adalah
suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat beraktifitas dan tidak dapat
memenuhi kebutuhannya.
Pada saat
sekarang, masyarakat suku Mbojo sudah mau berobat ke puskesmas ataupun rumah
sakit yang ada, ini menandakan bahwa masyarakat suku Mbojo telah mengenal
adanya fasilitas kesehatan yang ada pada saat kini dan meninggalkan kebiasaan
kuno yang berobat pada dukun atau orang pintar.
2.6
KEBIASAAN
DAN POLA MAKAN
a. Kebiasaan
dan Pola Makan Keluarga Pak Qisman
Awalnya keluarga Pak Qisman sulit
beradaptasi dengan makanan lombok sehingga Pak Qisman tetap mengkonsumsi
makanan bima yang diperoleh dari kiriman keluarganya. Namun, mereka sadar tidak
selamanya mengkonsumsi makanan dari bima sehingga mereka beradaptasi dengan
lingkungan dan seiring berjalannya waktu mereka terbiasa dengan makanan lombok
tanpa melupakan makanan khas bima.
Makanan yang biasa
dihidangkan oleh keluarga Pak Qisman adalah sambal doco, oi mangge, uta
karamba, uta mbeca saronco, uta mbeca maci seperti uta mbeca parongge, bohi
dungga, mangge mada, uta palumara, tumis sepi dan tota fo’o. Tetapi makanan
yang paling disering dikonsumsi oleh keluarga Pak adalah tumis sepi, karamba
dan uta mbeca parongge.
Meskipun anak-anak Pak Qisman
dilahirkan dilombok tetapi tetap mengenalkan makanan khas bima. Anak-anaknya
tetap mengkonsumsi makanan lombok dan menyukai makanan khas bima.
b.
Kebiasaan dan Pola Makan Keluarga Pak Adi
Awalnya keluarga Pak Adi sulit
beradaptasi dengan makanan lombok. Namun, keadaan mengharuskan mereka
mengkonsumsi makanan lombok sehingga keluarga Pak Adi lebih cepat beradaptasi
dibandingkan dengan keluarga Pak Adi.
Meskipun mereka sudah
terbiasa dengan makanan lombok tetapi mereka tidak melupakan makanan khas bima.
Makanan khas bima yang dihidangkan oleh keluarga Pak Adi adalah uta mbeca
saronco, uta mbeca parongge, tota fo’o, dan doco tomat.
2.7
TABU, PANTANGAN TERHADAP MAKANAN SERTA TAHAYUL PADA
SUKU MBOJO
a. Tabu dan
Pantangan
1. Telur dan
Mie
Telur dan mie merupakan salah satu
bahan makanan yang sangat disukai noleh masyarakat pada umumnya. Namun pada
masyarakat suku Mbojo menganggap bahwa telur dan mie dengan konsumsi terlalu
banyak dapat menyebabkan gatal – gatal pada anak balita.
2.
Ikan
Ikan merupakan salah satu bahan
makanan hewani yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya. Namun,
menurut masyarakat suku Mbojo menganggap jika terlalu mengkonsumsi banyak ikan
maka anak balita akan kecacingan.
3.
Lutut sapi
Menurut suku Mbojo apabila ada luka
pada bagian lutut kemudian mengkonsumsi lutut sapi maka akan lama proses
penyembuhannya.
b.
Tahayul pada suku Mbojo
1.
Tidak boleh keluar atau bermain pada saat maghrib
Menurut suku Mbojo, anak-anak
dilarang keluar atau bermain pada saat maghrib. Ini dilakukan sejak lama dan
turun temurun.
PENUTUP
KESIMPULAN
Begitu banyak ragam budaya dan khas makanan bima
membuat orang Bima begitu mencintai daerahnya. Bahkan bagi masyarakat Bima yang
merantaupun tetap berusaha mempertahankan adat dan pola makan seperti di Bima
meskipun tidak sepenuhnya (atau dicampur
dengan kebiasaan setempat). Contohnya masyarakat Bima yang tinggal di Lombok,
masih mempertahankan adat Bima dalam rangka merayakan upacara-upacara
tertentu.Orang Bima meskipun tinggal di Lombok, mereka tetap menyukai
makanan-makanan khas Bima yang biasa disajikan dalam masakan keluarga
sehari-hari, bahkan mereka tetap memperkenalkan makanan Bima kepada
anak-anaknya meskipun anaknya lahir di Lombok.Orang Bima membiasakan diri makan
makanan Lombok dalam upaya beradaptasi, karena mereka sadar tidak selamanya
mereka mengkonsumsi makanan khas Bima di lingkungan baru yang mereka tempati.
Jadi, dimanapun
orang Bima tinggal. Mereka tidak akan pernah melupakan adat dan makanan khas
mereka. Meskipun mereka terbiasa dengan makanan di daerah setempat, namun makanan
khas tetap menjadi makanan favorit mereka.
SARAN
Inilah yang
dapat kelompok kami tulis meskipun tulisan ini belum dapat dikatakan sempurna
dan kami membutuhkan kritik/saran agar menjadi motivasi kami untuk belajae lagi
agar lebih baik pada tulisan selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim,2015,Kebudayaan Suku
Mbojo,http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1118/suku-bima-dou-mbojo,diakes
tanggal 27 April 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar